Orang
Belanda rata-rata tidak memiliki keluarga sebesar orang Indonesia. Orang
Belanda harus hidup sendirian tanpa suku, tanpa saudara, tanpa pengurus RT,
tanpa jemaat gereja atau mesjid atau keluarga yang sedekat atau seakrab
keluarga orang Indonesia.
Orang
tua Belanda siapkan anak bule mereka untuk kehidupan individualis. Agar anak-anak
bisa berhasil dalam kehidupan mereka, mereka sejak usia dini sudah diajari
menghadapi berbagai situasi dan tantangan dengan norma sangat praktis dan
bermanfaat yang diajari orang tua sejak kecil.
Orang
Indonesia dikirim ke pak Kiayi atau ustadz di mana mereka disuruh menghafal
banyak ayat. Di sekolah mereka diajari bahasa Inggris bertahun-tahun namun
jarang mereka bisa berbicara dengan lancar. Pendidikan di Indonesia berdasar
menghafal saja. Murid Indonesia bisa jadi pintar sekali kalau mereka pandai
menghafal.
Sumber Rezeki berbeda
Di
Belanda anak-anak diajari meraih prestasi sendiri, berdasar prinsip yang
bermanfaat, tanpa bantuan siapa-siapa. Sedangkan di Indonesia, rezeki pasti
jalan melalui teman, dukun, tetangga, paman, saudara sepupuk, keponakan, rekan
kerja, atau fulus.
Prinsip/hafalan
yang disebut pedoman hidup sudah puluhan tahun tidak berperan lagi sebagai
pedoman hidup. Anak Indonesia mulai mengidap skizofrenia. Pada suatu hari raya
di Surabaya saya diundang sebuah halal bihalal di kantor Mahkamah Militer
III/12.
Yang
diundang sebagai penceramah adalah seorang Mayor Polisi yang tiba di kantor
pengadilan militer dengan sebuah Mitsubishi Lancer. Gaji seorang Mayor saat itu
500.000 dan standar gaji itu diketahui umum di kalangan ABRI.
Saya
berdiri di samping kolonel Hudoyo yang saat itu menjabat sebagai hakim militer
tinggi dan berdua kami saksikan kedatangan sang Mayor. Pada saat saya tanya
apakah sang Mayor memang rajin nabung sampai mampu beli mobil kinclong itu.
Kolonel Hudoyo tidak mampu menahan ketawa sambil air mata berliang di pipi
beliau. Lantas dia memberitahu bahwa sang Mayor punya jabatan yang basah.
Anak Indonesia disuruh menghafal Quran,
Pancasila, dan kewiraan untuk Mahasiswa namun saat mereka pulang mereka melihat
hasil korupsi, hasil amplop, dan hasil networking orang tua yang tidak bisa
memberi pegangan atau pedoman hidup yang melebihi hafalan yang berbunyi kosong.
Makanya perlu mencermati peran agama di Indonesia. Bukan agama yang dilihat
tetapi fungsi sosial. Agama sebagai kendaraan.
Kalau
kita mengutip hafalan dari mesjid pada tepat waktu dengan gaya, intonasi dan
logat yang tepat, kita akan dinilai orang alim. Apalagi kalau pakai baju dari
Timur Tengah, waduh, alim sekali! Makanya puluhan ribu kiayi, ustadz, ulama dan
imam tidak akan bisa perbaiki rakyat. Revolusi mental pasti gagal!
Sumber:
John Koeman (Facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar