Senin, 19 September 2016

Orang Belanda dan Orang Indonesia Memang Beda Prinsip

Orang Belanda rata-rata tidak memiliki keluarga sebesar orang Indonesia. Orang Belanda harus hidup sendirian tanpa suku, tanpa saudara, tanpa pengurus RT, tanpa jemaat gereja atau mesjid atau keluarga yang sedekat atau seakrab keluarga orang Indonesia.

Orang tua Belanda siapkan anak bule mereka untuk kehidupan individualis. Agar anak-anak bisa berhasil dalam kehidupan mereka, mereka sejak usia dini sudah diajari menghadapi berbagai situasi dan tantangan dengan norma sangat praktis dan bermanfaat yang diajari orang tua sejak kecil.

Orang Indonesia dikirim ke pak Kiayi atau ustadz di mana mereka disuruh menghafal banyak ayat. Di sekolah mereka diajari bahasa Inggris bertahun-tahun namun jarang mereka bisa berbicara dengan lancar. Pendidikan di Indonesia berdasar menghafal saja. Murid Indonesia bisa jadi pintar sekali kalau mereka pandai menghafal.

Sumber Rezeki berbeda
Di Belanda anak-anak diajari meraih prestasi sendiri, berdasar prinsip yang bermanfaat, tanpa bantuan siapa-siapa. Sedangkan di Indonesia, rezeki pasti jalan melalui teman, dukun, tetangga, paman, saudara sepupuk, keponakan, rekan kerja, atau fulus.


Prinsip/hafalan yang disebut pedoman hidup sudah puluhan tahun tidak berperan lagi sebagai pedoman hidup. Anak Indonesia mulai mengidap skizofrenia. Pada suatu hari raya di Surabaya saya diundang sebuah halal bihalal di kantor Mahkamah Militer III/12.

Yang diundang sebagai penceramah adalah seorang Mayor Polisi yang tiba di kantor pengadilan militer dengan sebuah Mitsubishi Lancer. Gaji seorang Mayor saat itu 500.000 dan standar gaji itu diketahui umum di kalangan ABRI.

Saya berdiri di samping kolonel Hudoyo yang saat itu menjabat sebagai hakim militer tinggi dan berdua kami saksikan kedatangan sang Mayor. Pada saat saya tanya apakah sang Mayor memang rajin nabung sampai mampu beli mobil kinclong itu. Kolonel Hudoyo tidak mampu menahan ketawa sambil air mata berliang di pipi beliau. Lantas dia memberitahu bahwa sang Mayor punya jabatan yang basah.

Anak Indonesia disuruh menghafal Quran, Pancasila, dan kewiraan untuk Mahasiswa namun saat mereka pulang mereka melihat hasil korupsi, hasil amplop, dan hasil networking orang tua yang tidak bisa memberi pegangan atau pedoman hidup yang melebihi hafalan yang berbunyi kosong. Makanya perlu mencermati peran agama di Indonesia. Bukan agama yang dilihat tetapi fungsi sosial. Agama sebagai kendaraan.

Kalau kita mengutip hafalan dari mesjid pada tepat waktu dengan gaya, intonasi dan logat yang tepat, kita akan dinilai orang alim. Apalagi kalau pakai baju dari Timur Tengah, waduh, alim sekali! Makanya puluhan ribu kiayi, ustadz, ulama dan imam tidak akan bisa perbaiki rakyat. Revolusi mental pasti gagal!


Sumber: John Koeman (Facebook)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar